Apa itu Bahagia

Apa itu Bahagia?

Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram adalah hidup sewajarnya. Yaitu hidup secara tidak berlebih-lebihan dan juga tidak berkekurangan. Dan hidup sewajarnya itu oleh Ki Ageng dirumuskan dalam NEMSA (6-SA): sakepenake, sabutuhe, saperlune, sacukupe, samesthine, sabenere. Untuk sampai pada itu semua, maka Ki Ageng menawarkan rumusan kawruh jiwa, metode meruhi pribadinipun piyambak, metode untuk mengetahui diri sendiri. Jika kita sebagai manusia mengetahui diri sendiri, memahami dirinya sendiri secara jujur, maka kita akan mengerti orang lain, dan akan paham lingkungannya. Jika sudah demikian, kita akan menjadi orang yang bahagia. Untuk menjadi bahagia, Manusia tahu takarannya, yaitu 6 SA.[5]

Sumber ketidakbahagiaan menurut Ki Ageng Suryomentaram adalah keinginan. Wujud keinginan itu ada semat, drajat dan kramat. Semat itu kekayaan, kesenangan, kecantikan, kegantengan, biasanya sifatnya fisik. Sementara drajat, bisa berupa keluhuran, kemuliaan, keutamaan, status sosial. Dan kramat adalah kekuasaan, kedudukan, pangkat. Keinginan kita wujudnya ketiganya. Ada orang yang terpesona oleh semat, yang terpesona, oleh drajat, atau kramat bisa jadi juga ketiganya.[6]

Apa tidak boleh? Boleh. Asal jangan mati-matian, kata Ki Ageng. Maka perlu diperhatikan adalah kawruh berikutnya adalah Mulur lan mungkret. Jika kita memahami sifat karep itu mulur dan mungkret, maka bahagia dan susah itu juga mulur dan mungkret. Konsekuensinya apa? Senang atau susah itu sifatnya sementara. Keinginan tercapai kita seneng, lalu akan berganti keinginan berikutnya, dan kita berjibaku untuk memenuhi keinginan tersebut, Jika tidak tercapai kita susah lalu keinginan akan mungkret. Dan seterusnya. Maka susah itu sementara, senang itu juga bersifat sementara. Yang abadi adalah keduanya.

Neraka Dunia

Dengan bekal memahami mulur-mungkret dan senang-susah, kita bisa terhindar dari neraka dunia.

Nerakanya dunia yang pertama adalah Meri (iri) lan pambegan (sombong). Iri adalah tanda level kita lebih rendah dibandingkan dengan orang yang kita irikan. Begitu kita merasa meri, tiap hari akan seperti neraka, tiap hari kita akan memikirkan bagaimana bisa menyamai semat, drajat, dan kramat kita bisa naik dan menandingi orang yang kita irikan.

Neraka dunia kedua adalah pambegan, sombong (merasa tinggi). Merasa menang terhadap orang lain. Orang yang sombong juga neraka bagi dirinya sendiri. Merasa lebih baik, merasa lebih utama, dibandingkan dengan orang lain.

Ketiga, Rasa Getun (kecewa). Takut akan pengalaman yang sudah dialami. Orang yang selalu meratapi masa lalu tidak akan bahagia. “Coba kemarin saya begini, tidak akan seperti ini sekarang.” “Coba kemarin saya begitu, sekarang tidak akan seperti ini” dan seterusnya. Menyesali masa lalu secara terus menerus (getun keduwung) tidak akan membuat kita bahagia.

Keempat, Sumelang (khawatir). Takut akan pengalaman yang akan dialami. Mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi pada masa yang akan datang juga menyebabkan kita berada dalam kesusahan bahkan sebelum sesuatu itu terjadi. Ini yang dimaksud magang cilaka. Peristiwanya belum terjadi tapi sudah merasa susah. Kalau keempat itu ada di diri kita, kita akan hidup seperti di nerakanya dunia, kata Ki Ageng. Ini rumus negatifnya. Kempat inilah yang menyebabkan raos tatu dan raos cilaka. Merasa terluka dan merasa celaka yang berkelanjutan.[7]

Maka nikmati saja saat ini. Masa depan mungkin akan mengkhawatirkan, tapi akan ada senang dan susahnya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Enable Notifications OK No thanks